Setelah
beliau menikah pada tahun 1975 diusianya yang ke 22, beliau tidak
lantas mengaktualisasikan ilmunya ditengah-tengah kehidupan yang lebih
nyata, mengasingkan diri dari dekapan kedua orang tuanya dan hijrah
untuk berjuang menyebarkan syariat Islam dipergumulan orang-orang yang
masih membutuhkan media untuk mentransfer hidayah Tuhan masuk kedalam
hati sanubari mereka, merubah kultur budaya masyarakat yang jauh dari
tuntunan syariat.
Beliau yang sudah menikah mulai berfikir akan
perekonomian keluarga yang dibinahnya, bergeraklah beliau untuk membuka
usaha untuk menopang ekonomi keluarga dirumahnya, dengan modal yang
sedikit beliau mencoba keberuntungannya untuk berdagang berbagai macam
kebutuhan bangunan, dimulailah perdagangan itu dengan menyediakan batu
kapur dan sedikit kayuglugu. Namun Tuhan berkata lain dan menurunkan
ujian kepada beliau dengan diberi kesuksesan dan keberhasilan dalam
usaha beliau, sehingga dengan waktu yang cukup singkat beliau mampu
mengembangkan usahanya dan mendapatkan keuntungan yang melimpah. Pada
dasarnya keuntungan dan keberhasilan dalam berdagang selalu
beliau harapkan dan itu semua tentu saja menjadi harapan semua orang
apalagi orang tua yang biasanya bahagia melihat kesuksesan anaknya.
Namun berbeda dengan beliau dan kedua orang tuanya, beliau justru
melihat semua itu merupakan ujian dari Allah SWT yang bisa membuat
beliau melupakan tanggung jawab dan kewajibannya untuk mendampingi dan
membantu orang tua beliau dalam mengajar dan mendidik para santri di
pesantren ayahnya. Dengan kesibukan beliau akan pencarian dan penerimaan
karunia Tuhan itu, suatu ketika beliau meninggalkan kewajibannya untuk
mengajar dan mendidik santri ayahnya, seketika itu beliau dipanggil oleh
ayahnya dan ditegur dengan nada penuh dengan kemarahan. Ayah beliau
bertanya”teko endi koen kok gak ngajar mangko” (dari mana kamu? kok ndak
ngajar tadi?) beliau menjawab dengan sopan”ndugi kilaan pak”mendengar
jawaban sang putra Mbah Kyai Bahruddin Kalam atau ayah beliau langsung
memarahi beliau”terusno.... tak obong tokomu” (teruskan ! saya bakar
tokomu) , sungguh tauladan yang perlu kita petik hikmahnya, dimana
kepentingan akhirat harus didahulukan dari pada kepentingan dunia, dan
kepentingan orang lain lebih diutamakan dari pada kepentingan pribadi.
Hari demi hari beliau merasa gunda mendengar perkataan orang tuanya.
Bagaimana tidak keberhasilan yang selalu diharapkan ternyata tidak bisa
membuat orang tua beliau senang melihatnya, tapi justru membuat sedih
dan marah. Itulah kesedihan beliau yang mendalam. Namun bagaimanapun
juga beliau adalah hamba Tuhan yang selalu diberi petunjuk, sehingga
pada akhirnya beliau menyadari bahwa dalam menjalani kehidupan ini tidak
ada ujian dan cobaan yang berat untuk taat kepada kedua orang tua dan
kepada Tuhannya selain ujian dan cobaan yang bersifat kenikmatan dan
kesenangan. Dengan kenikamatan dan kesenangan orang akan lupa kepada
perintah Tuhan dan bisa membuat dirinya berlaku sombong dan
menghilangkan kepatuhan kepada kedua orang tuanya.
Disaat
kebingungan menyelimuti alam pikiran beliau, terbersitlah hidayah Tuhan,
sehingga beliau memutuskan untuk mencari sebuah ketenangan batin yang
lebih hakiki, pergilah beliau untuk”manjing suluk”menuntaskan ilmu
thoriqohnya pada Mbah KH. Munawir Kertosono, tepatnya pada tahun 1984 M,
setelah”manjing suluk”selesai akhirnya beliau mendapatkan mandataris
kemursyitan sebagai guru thoriqoh Naqsyabandiyah, Qodiriyah, kholidiyah,
walmujadadiyah.Kesempurnaan beliau sebagai guru thoriqoh membuat hati
sang guru yaitu Mbah KH. Munawir menguji akan kesetiaan beliau sebagai
seorang murid, dipanggilah beliau oleh Mbah KH Munawir dan beliau diberi
amanah yang cukup bertentangan dengan nafsu duniawi, dimana pada saat
itu perekonomian keluarga beliau sudah mulai terbangun, tiba-tiba sang
guru menyuruh beliau untuk meninggalkan semuanya; berkatalah sang guru
“Koen iku anak barep, ojo gembol uwong tuwomu, dulurmu sek akeh, sak
aken adik-adikmu kate manggon nangdi, wong tanahe bapakmu yo mek sak
munu (kamu itu anak pertama, jangan bergantung pada orang tuamu,
saudaramu banyak, kasihan adik-adikmu, mau bertempat dimana? lha tanah
orang tuamu cuma segitu), beliau menjawab dospundi kale bapak?
(bagaimana dengan bapak saya?) Sang guru menegur”uwong tuwomu opo jare
aku, kuwe gelem tak toto leh? (orangtuamu itu urusanku, kamu mau saya
tata?) ”beliau menjawab”inggih”sang guru mengatakan”kuwe nek gelem
Ngalah barokah..!!” (kamu kalau mau mengalah..akan barokah). beliau
menjawab lagi dengan kepatuhan”inggih”, dari situlah muncul sebuah doa
yang terucap dari sang guru”Ngalah barokah,...Ngalah barokah,... Ngalah
barokah” (mengalah.. barokah) .Tidak lama kemudian beliau minta izin
pulang kerumah ayahnya, dan Mbah KH. Munawir berpesan”nek wes tutuk omah
warahen bapakmu kongkon mrene”.
(jika sampai rumah, bilang bapakmu suruh kesini).
Setelah sampai dirumah beliau menceritakan kepada ayahnya apa yang
telah diperintahkan oleh sang guru (Mbah KH. Munawir) kepadanya. Mbah KH.
Bahruddin yang juga masih termasuk keponakan dari Mbah KH. Munawir
langsung pergi ke Kertosono untuk menemui beliau, sesampainya Mbah KH.
Bahruddin disana, Mbah KH. Munawir berkata kepada beliau ”anakmu soleh
ojok digembol ae, culno jarno arek iku cek ngaleh” beliau menjawab ”inggih
nderek aken”. Setelah perbincangan antara keduanya selesai, akhirnya
Mbah KH. Bahruddin pulang, dan sesampainya dirumah beliau langsung
memanggil Romo KH. Soleh Bahruddin dan memberikan sebuah wejangan akan
beberapa hal yang harus beliau lakukan dalam menjalankan perintah sang
guru.Dengan diiringi doa restu yang tulus, melepaskan anaknya untuk
pergi berjuang menyampaikan kalam Tuhan, beliau berpesan;
- Kowe yen dholek panggunan kudu ora ado lan ora jedek songko pasar (Kamu kalau mencari tempat jangan yang terlalu jauh dan terlalu dekat dengan pasar)
- Panggunan mau ora adoh songko dalan sepur (Stasiun) (Tempat itu juga tidak jauh dari stasiun)
- Panggunan mau ora adoh songko ratan (Tempat itu juga tidak jauh dari jalan raya)
- Panggonan mau ora adoh songko banyu. (Tempat itu juga tidak jauh dari sungai)
- Panggunan mau seng penduduk’e isih tipis imane (Tempat yang penduduk atau warganya masih banyak yang belum beriman)
- Panggonan mau durung ono bangunan masjid. (Tempat itu masih belum ada masjidnya)
- Lan panggonan mau kudu ono pinggir tengene dalan. (dan tempat itu harus berada disebelah kanan jalan)
Belum kering rasa kegelisahan untuk mengawali perjuangan, pindah dari
dekapan orang tua, jauh dari keluarga yang selalu memberikan
perlindungan sesuai dengan amanah sang guru, hati danpikiran beliau
tambah bergejolak rasa kebingungan sesaat setelah menerima pesan dari
orang tuanya itu.
Dalam hati beliau bertanya-tanya kemana aku harus
mencari tempat yang sesuai dengan petunjuk sang ayah itu.Namun dengan
latar belakang ketaatan seorang anak yang selalu berbakti kepada guru
dan orang tua, beliaupun tidak pikir panjang dan banyak komentar, dengan
Bismillahdan percaya akan pertolongan Allah yang selalu menolong
hamba-Nya, perintah itupun dilaksanakan dengan meminta restu kepada
orang tuanya”Pangestunipun”,”iyo wes budalo tak pangestoni”
(berangkatlah, saya restui) hanya doa itulah yang mengiringi beliau dalam
menunaikan perintah sang guru dan orang tuanya.
bersambung...
Sumber : FP Komunitas Ngaji Sak Paran-Paran
0 komentar:
Posting Komentar