Jakarta, NU Online
Gus Dur tokoh yang kontraversial, banyak pendukung dan pemujanya, tetapi
disisi lain, banyak orang yang mencaci dirinya. Toh ia santai saja atas
sikap kelompok tersebut.
Banyak perilakunya yang diluar standar
normal. Yang paling terkenal diantaranya ketika ia menyebut “DPR seperti
anak TK“ yang masih sering dikutip sampai sekarang, dan hanya memakai
celana pendek ketika keluar dari istana saat digulingkan dari jabatannya
sebagai presiden. Banyak orang memandangnya dengan sinis, “presiden kok
begitu.“
Jangan-jangan ia sengaja mencari celaan dan hinaan
dari publik, agar hatinya selalu dekat dengan Allah? Dalam sufi,
terdapat aliran Malamatiyah, yaitu kelompok sufi yang sengaja
menghinakan dirinya. Ketika orang memuji dan mengkultuskannya, ia akan
melakukan tindakan kontraversial agar dicaci publik untuk menghindari
penyakit hati seperti riya’ (ingin dilihat baik), ujb (kagum dengan diri sendiri) dan nifaq (munafik/penampilan lahir lebih baik dari batin). Semua penyakit hati ini bisa menjauhkan hati seorang sufi kepada Allah.
“Saya ngak mau kurang ajar untuk ngrasani Gus Dur. Banyak orang yang lebih nyeleneh daripada Gus Dur dalam kewalian,“ kata ulama Betawi KH Saifuddin Amsir.
Orang
seperti itu, kata rais syuriyah PBNU ini, mencari celaan dan orang lain
dalam upaya melatih hati untuk meningkatkan kualitas hubungan dengan
Allah. Pada titik tertentu, mereka sampai merasa, dirinya lebih hina
daripada orang lain, bahkan binatang sekalipun.
Namun, aliran
ini berbahaya jika salah memahaminya. Banyak orang yang ingin masuk
kelompok ini dan melakukan maksiat yang berlebihan, tetapi terjebak
disitu, tidak bisa membedakan antara mencari kemuliaan dan pemuja
syahwat.
“Jadi kata malamatiyah, yaitu orang yang menisbahkan diri kepada malamah, kehinaan, cercaan. Itu yang dia cari.”
Di
Jakarta, ia mengenal sosok seperti itu, dalam kehidupan sehari-hari,
banyak perilakunya yang kelihatannya tidak pantas dilakukan oleh seorang
tokoh agama, sehingga ia banyak diejek. Tetapi di sisi lain, sikapnya
sangat baik kepada masyarakat.
Suatu hari “sufi” tersebut dengan
kasar meminta hampir semua uang yang dimiliki oleh pejabat yang dengan
sangat terpaksa memberikan apa yang dimiliki, meskipun dalam hati
menjerit, karena harta yang dikumpulkan dengan susah payah tersebut
diminta, apalagi dengan cara kasar.
Begitu mendapat uang tersebut, ia pergi ke rumah janda-janda yang
membutuhkan sampai semua uang tersebut habis. Pulang ke rumah, orang
tersebut masih diomeli sama istrinya, “setan loe, pulang-pulang ngak
bawa uang.”
Disisi lain, pejabat yang dimintai uang tersebut
mendapat ganti yang luar biasa besarnya. Peristiwa tersebut berulang
kali terjadi pada orang tersebut, meminta uang kepada seseorang,
kemudian ternyata tak lama kemudian, yang dimintai mendapat ganti yang
lebih banyak.
“Pada puncak ia dihina habis, sampai merasa dia
bukan apa-apa, kayak debu di atas meja, baru ada keberhasilan dia
sebagai orang yang menjalani malamatiyah, ini sangat berat. Ini
menghindari rasa riya, sombong, dan sifat hati jelek lainnya. Semuanya
dipangkas habis. Ini sifat dasar manusia.”
Perilaku seperti ini
tentu berbeda dengan kecenderungan manusia sekarang yang berusaha
menampilkan kemegahan, citra semu agar dianggap kaya, keren atau
berkuasa agar orang lain takut dan segan kepadanya.
Idiom yang sangat terkenal tentang kewalian adalah Laa yakriful wali illal wali
yang artinya, tidak tahu seseorang itu wali kecuali juga wali. Ia
menjelaskan, mereka merupakan sebuah komunitas khusus, yang saling kenal
dan berkomunikasi karena memiliki kualitas yang sama. “Kalau anda
kenal, berarti memiliki kualitas yang sama. Mereka tidak memiliki rasa
takut dan sedih, semuanya diserahkan kepada Allah.”
Kiai
Saifuddin menuturkan, sufi merupakan orang yang menghargai semua makhluk
hidup, termasuk binatang. Di Jakarta, tahun 1940-an, terdapat sufi yang
dikenal dengan mana Guru Kholid Gondangdia. Ia berkawan dengan KH
Hasyim Asy’ari.
Ia pernah mengembalikan seekor semut rang-rang
ke Cilebut, daerah dekat Bogor, tempat ia mengajar ketika pulang lewat
kebun rambutan, semut tersebut menempel di jubahnya. Ia balik lagi ke
kebun tersebut dan menaruh kembali semut rang-rang di pohon rambutan.
“Kalau
kita sekarang, buang saja, banyak pohon rambutan di Jakarta, kan
selesai. Ini sikap Guru Kholid, akan kasih sayangnya pada binatang.”(mukafi niam)
Sumber :nu.or.id
0 komentar:
Posting Komentar