1. Sejarah
Foto : retakankata.com |
b. Berasal dari Pacet. Menurut cerita dari Pak Amir anak
dari Mbah Siran yang menghidupkan kesenian Bantengan ini sampai sekarang
di Claket. Akhirnya kesenian ini hidup subur sampai sekarang di Pacet
dan Claket (baca: Surabaya Post, 1997)
Kedua versi itu sulit
dilacak kebenarannya, mana yang lahir lebih dulu. Tetapi jelas sekali
tempat yang terus melestarikan kesenian Bantengan ini adalah Pacet
(sering mengadakan Festival Bantengan dan upacara tetap setiap
memperingati hari kemerdekaan RI), cara swasembada layaknya kesenian
tradisional lainnya di Indonesia.
Kedua versi itu masuk akal
kalau dihubungkan dengan geografi kedua kawasan itu. masih banyak
terdiri dari hutan belantara dan gunung. Sudah tentu Bantengan itu
identik dengan hutan.
Menurut cerita Pak Amir (tokoh Bantengan)
dan beberapa tokoh bantengan yang lain, seni Bantengan ini asal mulanya
dari seni persilatan yang tumbuh subur di surau-surau atau langgar
(mushollah).
Kesenian Bantengan ini awalnya untuk beladiri bagi
pemuda di surau-surau. Tetapi akhirnya menjadi kegiatan seni untuk
merayakan upacara perkawinan, sunatan atau bersih desa.
Pemikiran manusia terus berkembang, begitu juga perkembangan kesenian termasuk seni “Kitch” atau seni bawah/ tradisional.
Seni yang hidup turun temurun dari rakyat. Pencak silat itu akhirnya
tidak banyak diminati masyarakat luas karena membosankan dan tidak
menarik lagi.
Para pendekar mencari alternatif lain agar
kesenian itu diminati lagi. Begitu sederhana sekali perjalanan kesenian
Bantengan ini.
Suatu ketika Mbah Siran dari Claket itu
menemukan bangkai banteng yang tergeletak di tepi sungai Kromong tepi
hutan. Konon kabarnya ini terjadi karena perkelahian dua ekor banteng.
Seekor kalah dan mati menjadi bangkai. Supaya tidak mubazir oleh Mbah
Siran bangkai banteng ini diambil khusus kepalanya (tengkoraknya)
dibersihkan dan dibawa pulang.
Kalau kepala menjangan untuk
hiasan rumah, sampai sekarang masih banyak terdapat di rumah-rumah lama
sebagai lambang atau simbol keberadaan seseorang, tetapi tengkorak
banteng yang berkesan gagah dan berwibawa ini mengilhami Mbah Siran
untuk melengkapi kesenian Bantengan yang tidak menarik lagi. Awalnya
tengkorak itulah yang langsung diambil untuk dipakai sebagai “topeng”
Bantengan itu melengkapi seni pencak silat dan akhirnya karena menarik,
hanya Bantengan saja yang lestari sampai sekarang. Bantengan berdiri
sendiri tanpa pencak silat lagi.
Akhirnya Bantengan ini menjadi
cabang seni rakyat atau tradisional yang amat digemari masyarakat,
meskipun sampai sekarang Pemerintah Kabupaten Mojokerto sendiri belum
pernah ada usaha untuk mengangkat seni rakyat ini menjadi sebuah
kebanggaan yang akhirnya bisa menjadi ikon untuk Kabupaten Mojokerto.
Mereka hidup sendiri dan ini perlu ditangani secara lebih serius agar
tidak tertatih-tatih berjalan sendiri tanpa penanganan yang jelas
meskipun diam-diam ia telah mengangkat citra sebuah kota dalam bidang
kesenian dan kebudayaan. Barangkali ini sebuah landasan pemikiran
tentang sebuah IKON.
2. Bantengan Masa Sekarang
Group
Bantengan di Kabupaten Mojokerto awalnya banyak sekali. Menurut catatan,
dulu sampai sekarang ke daerah Gondang, Kutorejo dan Tlagan. Bahkan
menurut berita dari mulut ke mulut ada juga yang masih hidup di daerah
Pandan dan Wonosalam serta di kota kecil Dinoyo. Tetapi yang jalan
sampai sekarang hanya Pacet dan Claket saja. Tak salah kalau banyak
orang yang mengatakan bahwa Bantengan kesenian milik Pacet (baca:
Surabaya post, 1997, oleh Hardjono WS). Atau saling berebut antara kota
Batu dan Pacet mana yang lebih dulu melahirkan Bantengan ini tetapi ini
sulit dilacak kebenarannya. Mengapa demikian?
Barangkali memang
benar kesenian ini dari sana dan secara geografis (Batu dan Pacet)
masyarakatnya amat mendukung, hutan dan gunung. Masyarakat Pacet dan
Claket memang merasa memiliki seni ini turun temurun yang di “leluri”
sebagai penghargaan kepada penemu atau pencipta serta penerus sini
Bantengan ini.
Akhirnya topeng Bantengan yang awalnya dari
tengkorak banteng asli diganti dengan topeng buatan yang dibuat dari
kayu. Ditakutkan akan terjadi perburuan liar untuk menembak banteng,
meskipun akhirnya banteng itu punah dengan sendirinya.
Seni
Bantengan ini terdiri dari dua pemain yang berperan menjadi seekor
banteng. Pemain depan dengan dua laki-laki bertugas menjadi dua kaki
banteng di depan, dan kaki milik pemain yang lain bertugas sebagai dua
kaki banteng bagian belakang. Tubuh banteng dibentuk dari selembar kain
hitam yang menghubungkan kepala banteng dengan ekor banteng yang
dimainkan oleh pemain yang di belakang (lihat gambar).
Kedua
pemain harus kompak bermain. Bagaimana mereka harus bermain menjadi satu
tubuh, satu jiwa, satu karakter, satu roh, layaknya pemain double dalam
bulu tangkis Ricky Subagya dan Rexy Meinaky. Teknik mereka memaunkan
Bantengan memang ada dasar-dasar tertentu.
Meskipun sebagai
seni tradisi yang bersifat seni perlawanan, rasa jiwa, spontanitas
“berimprovisasi” layaknya dalam musik jazz ikut mendominasi
gerakan-gerakan mereka. Kalau diuraikan secara teori menurut pakar
Bantengan memang ada gerakan-gerakan tertentu, misalnya : langkah dua
ekor banteng , laku lombo gedong, junjungan, geser, banteng turu
(tidur), perang dengan macan (harimau) atau dengan naga, banteng nginguk
(melirik), tubrukan dengan macan. Macan pun punya gerakan begitu, juga
gerakan pendekar.
Sekarang Bantengan pun tidak sja hanya
banteng, tapi bisa juga melibatkan beinatang-binatang lain penghuni
hutan (disbet buron alas). Menurut cerita mereka (penggarap Bantengan),
banteng adalah simbol pengayom atau pelindung binatang-binatang lain di
hutan. Ini sebuah proses panjang yang tidak bisa kita ketahui di mana
mereka akan bermuara, karena pemikiran manusia itu terus berkembang
(misalnya perkembangan pementasan wayang Purwo atau wayang Kuli),
beladiri lewat persilatan, kemudian berubah menjadi Bantengan. Banteng
musuh banteng, akhirnya banteng melawan macan, melawan ular naga,
melawan kera dan melawan bainatang-binatang lain (buron wana). Ini semua
karena tuntutan untuk lebih menarik bagi para penonton saja.
Tahun 1999, penulis yang kebetulan pecinta seni tradisional melakukan
eksperimen. Bantengan kita angkat bermain di sebuah hotel berbintang;
hotel Sativa di Pacet ketika ada pameran emas se dunia di Surabaya.
Kebetulan penutupannya di hotel mewah tersebut, tetapi dengan syarat :
tidak boleh ndadi (tak sadar atau in trance), running time tidak boleh
melebihi 25 menit, setting (arena tempat main) hanya 5x5 meter, pemain
tidak boleh lebih dari 15 orang termasuk pemain musik dan pendekarnya
serta mendapat honor lebih dari cukup lengkap dengan makan minum di
hotel.
Biasanya kalau mereka main, pemainnya tak terbatas
jumlahnya. Begitu juga tentang running maupun setting untuk bermain
termasuk pengikutnya. Begitu juga dengan “ndadi”nya atau in trance-nya.
Pertunjukkan di hotel saat itu amat menarik pengunjung, dan baru merasa
pertama kali inilah mereka nikmati. Mereka yakin bahwa Bantengan ini
kesenian milik Pacet atau Mojokerto. Esensi Bantengan tetap tak berubah,
seperti pertandingan tinju ditambahai dengan challeng girl (panari
latar perempuan yang cantik), toh esensi tinju tak berubah.
3. Bagaimana Bantengan Masa Depan
Sejelek-jeleknya “ondel-ondel” (Jakarta) tak seorangpun warga kota yang
tidak bangga dengan lenong dan Ondel-ondel. Segala lapisan masyarakat
ingin bersama-sama mengangkat kesenian ini menjadi sebuah icon. Mulai
dari abang becak sampai abang Ali Sadikin dan abang Sutiyoso (bang Yos),
akademisi dan seniman cinta dengan cabang seni ini. Ondel-ondel menjadi
mascot kota Jakarta. Coba, mengapa Mojokerto yang katanya awal
berdirinya sebuah negeri besar dengan pandangan nusantara ini tak mau
mengangkat sebuah kesenian yang dipersembahkan oleh rakyat khusunya
Pacet/ Claket menjadi sebuah icon dan kebanggaan tak ubahnya Reyog
(bukan Reog) dari Ponorogo yang menurut catatan Reyog ini dikembangkan
dan diangkat ke permukaan oleh Bethara Katong Bupati Ponorogo adik dari
Brawijaya raja Mojopahit. Meskipun Reyog ini awalnya dipersembahkan oleh
rakyat setempat, pemerintah mempunyai tugas dan wewenang atas pemikiran
serta usulan rakyat.
Bagaimana Ondel-ondel atau Reyog yang
dianggap kitch dan berselera rendah semacam bemo dan ludruk pada awalnya
bisa diangkat ke tempat-tempat yang lebih bergengsi dan berwibawa.
Sudah barang tentu pemerintah punya kewajiban, dan ini harus berani
melakukan renovasi dan pembenahan-pembenahan minimal seperti contoh
Bantengan itu sendiri. Tentang pakaian, musiknya, gerakan tarinya,
filosofi tentang kesenian itu sendiri. Misalnya, Bantengan tidak perlu
melawan banteng karena banteng secara filosofis adalah sebagai lambang
kebangsaan (ingat sumpah palapa, begitu juga salah seorang Proklamator
kita Bung Karno yang terlahir di Mojokerto adalah tokoh kebangsaan yang
masih belum ada duanya). Masa bangsa musuh bangsa sendiri.
Bukankah Mojopahit dulu dan Indonesia sekarang merindukan keutuhan bangsa Indonesia (NKRI) tanpa melihat agama dan suku bangsa?
Banteng mungkin melawan harimau atau macan (masih ingat lukisan R.
Saleh tentang banteng melawan harimau) simbol bangsa Indonesia melawan
kolonialisme Belanda. Atau banteng melawan ular naga (simbol dari
angkara murka) dan ini mungkin lebih menarik karena gerakan ular naga
sendiri pasti lebih artistik dan atraktif apalagi saat melawan banteng.
Banteng bukan milik PDI atau partai-partai lain. Kita harus berpikir bersih dan bening demi seni dan bangsa serta kemanusiaan.
Pakaiannya barangkali bisa lebih digarap lagi supaya warna hitam (tubuh
banteng) yang dominan adalah warna dasar yang akan lebih hidup. Ketika
“uborampe”nya digarap mulai dari topeng, tubuh banteng dengan ornamen
warna Mojopahit untuk menghias kepala banteng, tubuh banteng serta
pakaian pendekar atau penabuh gamelan pasti akan lebih menarik lagi
(warna gula kelapa) terasa ada garapan. Untuk musik barangkali tak perlu
mendapat pembenahan yang mendasar karena musik yang terdiri dari
gendang, jidor, gong. Kethe sebagai melodi sudah bisa mewakili bunyi
serta ritme yang diharapkan oleh penabuh dan pemain bantengannya. Kalau
toh ada pembenahan bisa ditambah lagi dengan yang lain tetapi tidak
mengurangi esensi gamelan atau musik yang berangkat dari seni silat ini,
misalnya terbang atau ceng-ceng (dari Bali) karena Mojopahit dan Bali
masih ada ikatan emosionalnya dan sedikit gamelan yang rancak dan
atraktif. Biasanya bunyi gamelannya berlaras slendro (kebanyakan musik
atau gamelan Mojokerto atau Jawa timur). Akhirnya Bantengan ini menjadi
sesuatu yang khas dan kemungkinan akan diminati oleh masyarakat lebih
luas seperti seni-seni kitch yang lain: Reyog (Ponorogo), Glipang
(Probolinggo), Remo (Surabaya), Topeng (Malang dan Madura), Jangger
(Banyuwangi), Ririmau (Palembang), Ondel-ondel (Jakarta) dan Bantengan
dari Mojokerto.
4. Lain-lain
Untuk melengkapi buku ini
kami lampirkan juga pemikiran-pemikiran para pemikir kebudayaan dan
seniman Mojokerto. Mengapa pemikiran ini juga harus kami lampirkan?
Karena berbicara Bantengan sudah tentu tidak hanya berbicara masalah
seni saja, tetapi sudah berbicara tentang budaya, politik, ekonomi dan
kepercayaan yang lahir dari masyarakat. Para pemikir tersebut adalah
Bambang Purwanto S.H dari Bappeda (birokrat), Drs. Nano Purwana M.M dari
Dinas Pariwisata, Any Lasani dari unsur partai (PDI), Muhammad Amien
dari unsur agama dan mantan anggota DPR, Hardjono WS dari seniman
budayawan, Gatot S.H mantan jaksa dan pemerhati budaya Jawa, Drs.
Harmajie M.M dari paguyuban Majas Leluri Paguyuban Budaya Jawa, Muhammad
Khamim anggota Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto, Anam anis S.H
seorang pengacara serta Sukardi dan Kun Haryono dari pers yang selalu
membantu dalam pemikiran surat kabar mereka. Tetapi sayang, karena
keterbatasan waktu mereka akhirnya hanya tujuh orang yang sempat
menyelesaikan buku kecil panduan seni Bantengan yang diterbitkan oleh
Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto. Mereka adalah: Hardjono WS, Bambang
Purwanto S.H, Muhammad Amien, Drs. Harmajie M.M , Drs. Nano Purwana M.M,
Any Lasani, dan Gatot S.H. inilah buku kecil panduan mereka tentang
Bantengan ini. sudah tentu ini perlu untuk melengkapi penerbitan buku
“Bantengan : Antara Seni, Icon dan Nilai-nilai Kebangsaan” ini. buku
panduan dari Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto.
A. Latar Belakang Pemikiran
Dalam sebuah buku lama tentang dongeng (fable) bahwa dongeng itu
berasal dari India yang sudah lahir 1500 sebelum Masehi yang kemudian
ditulis oleh Jean Dela Fontine penulis asal Perancis dan diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia oleh Trisno Sumarjo pada tahun 1953 dengan
harga buku masih seratus lima puluh rupiah. Dalam dongeng yang lahir di
pulau Jawa dan tidak termasuk dalam kumpulan buku tersebut, dalam dunia
binatang bahwa banteng adalah binatang yang mewakili sifat-sifat terpuji
khususnya kalau sudah melakukan tindakan (action). Pada suatu ketika
seekor banteng menolong seekor buaya yang tertimpa sebatang pohon besar
karena semalam telah terjadi angin rebut dan pohon itu tumbang sekaligus
menimpa tubuh buaya. Semalaman buaya mempertahankan dirinya dari
kematian sampai pagi. Kemudian datanglah sang penolong banteng. Awalnya
sang banteng tidak mau menolong mengingat watak dan sifat buaya yang
terkenal jahat, rakus, licik dan buas. Bukankah buaya adalah
satu-satunya binatang yang sampai hati makan anaknya sendiri? Tetapi
karena mendengar permintaan buaya begitu memilukan, akhirnya banteng
ingin juga menolong. Mungkin ia masih sempat berpikir bukankan semua
makhluk Tuhan itu bisa berubah perangai dan wataknya? Sang buaya tidak
menyadari bahwa watak itu sulit untuk berubah? Pertolongan itu tidak
saja membuat buaya lepas dari tindihan pohon, tetapi sampai minta
digendong ke muara sungai tempat buaya hidup. Alasannya sederhana, belum
begitu kuat meskipun hanya membawa tubuhnya sendiri. Padal di balik itu
semua ia ingin membunuh sekaligus memakan tubuh banteng itu. kalau
perkelahian itu terjadi di sungai pasti buaya akan memenangkannya.
Bayangkan betapa licik sang buaya dan betapa tulus hati sang banteng
menghadapi itu semua. Benar setelah sampai di muara synagi langsung sang
buaya berhasrat untuk membunuh sekaligus makan tubuh sang banteng. Sang
banteng sempat berpikir bagaimana ia harus menyelamatkan diri serta
menyelesaikan kebenaran masalah itu. siapakah yang salah dan siapakah
yang benar kalau kebajikan itu dibalas dengan kebatilan. Satu-satunya
cara menurut banteng hanyalah sebuah pengadilan. Supaya adil maka mereka
sepakat mencari pengadilan sampai tiga kali atau tiga macam pengadilan.
Pengadilan itulah yang akhirnya memutuskan untuk mengadili buaya itu
harus kembali seperti sebelum mendapat pertolongan sang banteng. Tubuh
tertimpa pohon besar dan tak usah ditolong lagi. Dongeng tentang
keperkasaan dan ketulusan serta kebujaksanaan banteng ini telah
diabadikan juga menjadi naskah teater anak-anak. Tidak ada salahnya
belajar dari dunia binatang lewat dongeng karena dongeng itu adalah
karya sastra yang berbicara masalah akhlak dan bukan bersifat menggurui
atau dogmatis. Oleh seorang pelukis besar Indonesia, R. Saleh
mengabadikan dongeng itu dengan melukis perkelahian antara banteng dan
harimau. Banteng diyakini sebagai simbol kebangsaan melawan harimau
sebagai simbol angkara murka, imperialis dan kapitalis Belanda waktu
itu. pelukis menggambarkan situasi bangsa Indonesia saat itu lewat karya
seni berupa lukisan.
Jika Surabaya mempunyai Ludruk dan Remo,
Bandung punya Sisingaan, Palembang punya Ririmau, Jakarta punya Lenong
dan Ondel-ondel, Yogyakarta punya Ketoprak (bukan ketoprak Jakarta)
Ponorogo punya Reyog (bukan Reog) dan Banyuwangi punya Gandrung dan
Jangger, Probolinggo punya Glipang, Kediri, Tulungagung dan Trenggalek
punya jaranan, lalu Mojokerto punya apa? Mojokerto memang mempunyai
banyak cabang seni yang berangkat dari rakyat (bukan instant atau
rekayasa) misalnya saja Ujung atau Ujungan (waktu-waktu tertentu
muncul), olahraga silat, jaranan, mocopat dan lain-lain bukan karena
untuk kepentingan golongan termaduk Bantengan ini sendiri yang sampai
sekarang masih hidup subur di daerah Pacet dan Claket. Tetapi mengapa
Bantengan itu sendiri belum bisa dianggap sebagai ciri khas atau jati
diri kabupaten Mojokerto? Barangkali ada benang merah yang terputus dan
juga tak ada salahnya jika sekarang inilah benang terputus itu kita
sambung kembali. Sebagai catatan, kesenian yang banyak tumbuh tumbuh
subur di kabupaten Mojokerto ini juga bisa berasal dari luar kota atau
asli Mojokerto, tetapi yang tampak jelas bantenganlah yang diyakini asli
Mojokerto. Bukktinya secara kongkrit kawasan Mojokertolah yang sampai
sekarang kesenian Bantengan ini hidup subur di kawasan tersebut. Bahkan
sering di tempat-tempat itu dilakukan kegiatan pementasan dan festifal.
Akhirnya founding father kita menggambarkan dalam lambang Pancasila
bahwa nilai-nilai kolonialisme atau kebangsaan adalah gambar banteng.
Tidak salah bukan kalau Bantengan merupakan simbol dari kesenian yang
dibanggakan masyarakat Mojokerto yang merupakan cikal bakal pemikiran
wawasan Nusantara (Sumpah Palapa) dan Bhinneka Tunggal Ika zaman
Mojopahit.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan buku ini adalah sebagai berikut :
a. Merupakan suatu sarana sosialisasi agar meningkatkan apresiasi
masyarakat terhadap seni pada umumnya dan seni Bantengan pada khususnya.
b. Agar terdapat seni khas untuk Kabupaten Mojokerto yang dapat
dikembangkan dan pada gilirannya berdampak terhadap aspek ekonomi,
tenaga kerja, pariwisata, industri dan lain sebagainya.
c.
Meningkatkan perhatian Pemerintah terhadap upaya melestarikan seni dan
budaya pada umumnya dan khususnya seni Bantengan di Kabupaten Mojokerto.
d. Sebagai sarana membangun komitmen dari berbagai kalangan bahwa seni Bantengan adalah seni khas Kabupaten Mojokerto.
e. Agar dapat menjadi panduan bagi pemerhati dan penggiat seni
Bantengan dalam upaya pengelolaan dan pengembangan di Kabupaten
Mojokerto.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode yang
digunakan dalam rangka penulisan buku ini adalah metode wawancara, yaitu
mengadakan wawancara dengan orang-orang yang mengetahui sejarah atau
latar belakang adanya seni Bantengan. Sehingga data yang diperoleh
adalah data primer yang bersumber dari orang-orang yang diwawancarai.
D. Komitmen Masyarakat Terhadap Seni Bantengan
Setelah melalui beberapa kegiatan koordinasi dengan berbagai komponen
masyarakat, antara lain para seniman, budayawan, penggiat/ pemerhati
seni Bantengan, agamawan, tokoh masyarakat serta berbagai instansi baik
pemerintah maupun swasta maka dapat dimaklumi bahwa keberadaan seni
Bantengan adalah satu-satunya sebagai seni khas kabupaten Mojokerto yang
dapat mengangkat citra positif bagi kabupaten Mojokerto.
BAB II
Makna Filosofis Seni Bantengan
Sebenarnya kota kecil Pacet kurang lebih 30 km dari kota Mojokerto ke
arah selatan sudah terkenal sejak zaman Belanda. Di samping udaranya
yang sejuk dan banyak dikunjungi orang kota, ada juga sebuah cabang
kesenian rakyat bahkan sudah mentradisi sampai sekarang. Kesenian itu
sangat atraktif yang disebut Bantengan. Cabang kesenian ini sering
pentas/ pagelaran menghibur masyarakat dalam kegiatan hajatan , ruwatan
desa, sunatan, pernikahan terutama untuk memperingati hari kemerdekaan
Indonesia. Jenis kesenian ini amat digemari masyarakat kabupaten
Mojokerto meskipun keberadaannya tergantung pada kesetiaan dan kecintaan
group itu sendiri. Tidak jarang mereka bermain hanya dihargai dengan
nilai uang kurang memadai. Bahkan lebih sering secara gratis. “Kesenian
banteng adalah bagian hidup kami”, kata Cak Amir pemimpin Bantengan asal
Claket Pacet mojokrto. Sebagaimana kakek dan bapaknya dulu (Mbah
Siran), Amir mulai mencintai Bantengan sejak masih anak-anak. Alasannya
dia mengikuti cabang kesenian sekaligus ikut olahraga pencak silat yang
banyak berkembang di surau-surau setempat. Jumlah group Bantengan yang
berada di wilayah kecamatan Pacet sampai sekarang ini diperkirakan
berjumlah 17 group yang tersebar di desa-desa Claket, Kambengan, Cempoko
Limo, Made, Barakan dan lain-lain.
A. Asal-usul
Pada
awalnya Bantengan Cuma sebagai pelengkap kesenian rakyat pencakcak
silat. Akhirnya Bantengan menjadi sebuah tontonan sendiri. Kalau
memiliki Bantengan berarti pencak silat, tapi kalau memiliki pencak
silat belum tentu memiliki Bantengan. Asal-usul Bantengan ini konon
bermula dari Pacet atau Claket sebagaimana diungkapkan di atas. Namun
ada yang mengatakan dari kecamtan Jatirejo dan kecamatan Trawas. Boleh
jadi karena daeradaerah saat itu masih terdiri dari hutan liar yang
banyak dihuni binatang banteng. Sehingga binatang ini menjadi maskot
yang akhirnya melahirkan kesenian tersebut. Salah seorang tokoh
Bantengan yang kini sudah almarhum adalah Mbah Siran dari desa Claket
Pacet. Sebagai mandor hutan di zaman Belanda, Mbah Siran terkenal
sebagai pendekar penvak silat yang energik, segar, menarik dan atraktif.
Semenjak Mbah Siran menemukan bangkai banteng yang tergeletak di tepi
hutan segera dibawa pulang, dibersihkan tengkoraknya saja. kalau kepala
menjangan untuk hiasan rumah (sampai sekarang masih ada rumah berhiaskan
kepala menjangan sebagai lambang atau keberadaan seseorang), tetapi
tengkorak banteng yang terkesan gagah dan berwibawa mengilhami Mbah
Siran untuk melengkapi kesenian pencak silat yang tidak menarik lagi.
Awalnya tengkorak itulah yang dipakai langsung untuk topeng Bantengan
melengkapi seni pencak silat. Dari Mbah Siran itulah Bantengan mulai
diperkenalkan ke masyarakat luas sehingga tontonan pencak silat lebih
kaya variasi. Saat itu pencak silat hanya terdiri atas “kembangan”
stelan, perkelahian bebas dengan tangan kosong, clurit, kayu dan tombak.
Tabuhannya (iringan musik) seperangkat gamelan atau berupa dua buah
ketipung, jidor, theng-theng, rebana yang dipukul dengan “gothik"
(potongan kayu). Setelah diikutsertakan dalam pencak silat, tontonan itu
menjadi tontonan dengan istilah baru “Bantengan”. Kalau mengadakan
tontonan di tempat tertentu Bantengan ini masih lengkap dengan pencak
silat. Tapi kalau diundang untuk meramaikan karnaval atau pawai hanya
Bantengan saja yang dimainkan. Pemain yang memainkan Bantengan ini
dikendalikan oleh dadungawuk atau pawangnya. Gerakan mereka atraktif dan
amat dinamis apalagi diiringi tabuhan yang berkesan magis. Tidak jarang
permainan ini menjadi liar dan berkesan buas apalagi kalau pawangnya
tidak mahir. Penerus Mbah Siran adalah Cak Amir tak beda dengan kakek
dan bapaknya adalah seorang pendekar dan pemimpin sekaligus.
BAB III
Seni Bantengan dalam Konteks Perjuangan
Setiap manusia mendambakan sebuah kemerdekaan, baik kemerdekaan
individu maupun kemerdekaan sosial. Begitu juga masyarakat Mojokerto
yang waktu itu dijajah Belanda. Ketika berbagai strategi dan taktik
dapat diketahui oleh Belanda harus mencari cara yang lain. Kerena
perjuangan masih belum dilakukan secara terorganisir, maka dicarilah
cara-cara membangkitkan semangat terutama pemuda untuk sama melawan
penjajah, maka dicarilah alternatif baru dalam wadah pergerakan
perjuangan. Berdasarkan berbagai permusyawaratan, maka diputuskan
memakai wadah silaturrahim dalam pendidikan pencak silat (silat
dianalogkan sebagai silaturrahim). Dengan pendidikan silat, maka tujuan
menghimpun kembali wadah pergerakan perjuangan telah tercapai. Di
sampang sebagai forum silaturrahim, pencak silat sebagai pendidikan
olahraga merupakan dasar untuk menyusun kekuatan secara fisik. Setelah
ditemukan wadah pergerakan, maka dicapai sebuah alat perjuangan berupa
seni Bantengan. Banyak alasan mengapa Bantengan ini dipilih:
a. Karena di dalamnya ada sarana berkumpul untuk rmusyawarah membahas perjuangan.
b. Adanya unsur olahraga sebagai bagian dasar berlatih untuk perang
c. Adanya unsur sufisme di mana dalam memerankan rangkaian seni
Bantengan (banteng, kera, harimau, jepaplok, manusia) selalu dibimbing
dan dilatih untuk menyatukan (ngenjengno/ manunggaling kawulo lan Gusti)
supaya bisa menyatukan diri dalam arah dan gerak seni peran diperlukan
kesadaran dan penyatuan diri terhadap Tuhan agar dapat menampilkan
perilaku seperti apa yang diperankan.
d. Adanya unsur taktik
perjuangan dengan cara “kesurupan”. Dengan cara ini apabila terjadi
penyerangan terhadap Belanda, maka pemain seni ini termasuk orang gila
yang tidak bisa dijerat hukum.
e. Adanya unsur beibadah karena
dasarnya semua agama menganjurkan untuk menggunakan wangi-wangian di
dalam setiap aktivitas, di mana seni Bantengan menggunakan kemenyan,
dupa atau minyak wangi. Hal ini seakan-akan menggunakan magic, padahal
itu semua bagian dari ibadah.
A. Seni Bantengan dalam Konteks Olahraga
Akal yang sehat terletak pada badan yang sehat, demikian sebuah
pepatah. Untuk dapat memainkan Bantengan perlu adanya pikiran yang sehat
sehingga bisa mengendalikan permainan serta badan yang sehat agar gerak
danlaku yang diperankan bisa sempurna. Ada dasar-dasar olahraga yang
perlu dipersiapkan dalam olahraga yang perlu dipersiapkan dalam pola
seni Bantengan ini antara lain : kaki yang kuat dalm kuda-kuda,
kekekaran dan kesehatan tubuh, kelenturan dalam gerak langkah, serta
pernafasan yang panjang. Untuk memenuhi hal itu diperlukan latihan yang
rutin dalam bidang olahraga. Olahraga yang membudaya waktu itu adalah
seni beladiri masyarakat Jawa yang lebih dikenal dengan pencak silat.
Setelah diteliti olahraga ini hanya dimiliki pada budaya Jawa.
B. Seni Bantengan dalam Konteks Olah Hati
Jika kita mendalami budaya, maka banyak cara yang dilakukan oleh nenk
moyang kita dalam mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara meditasi,
semedi, tapa brata, yoga dan lain-lain yang intinya ingin mendapatkan
kesempurnaan hidup sampai manunggaling kawula lan Gusti. Setiap manusia
tentu ingin mendapatkan kesempurnaan hidup. Salah satu unsur
kesempurnaan hidup adalah efektiknya (tulus ikhlas) permintaan kepada
Tuhan. Untuk bisa efektif permintaan pada Tuhan diperlukan latihan olah
rohani yang dilandasi olah nafas/ tenaga dalam. Sesungguhnya hampir
semua agama mengajarkan cara ini, hanya saja metodenya yang berbeda.
Dalam dunia persilatan cara ini banyak dilakukan apakah perguruan modern
maupun tradisional. Untuk memerankan peran dalam kelompok seni
Bantengan tentu semua ingin melakonkan atau memainkan dengan sempurna.
Untuk melakukan dengan sempurna maka olah dan gerak nafas dapat
dilakukan antara lain:
1. Konsentrasi memohon kepada Tuhan
2. Menarik nafas panjang dilepas pelan-pelan sambil berdoa mohon sesuai dengan yang diinginkan.
3. Dilakukan terus-menerus sampai mendapatkan langkah dan gerak
otomatis menuju kesempurnaan yang dimainkan. Dengan cara ini meskipun
keanyakan orang melihat kesurupan, tetapi pada dasarnya adalah permainan
untuk mengecoh pengunjung agar puas serta sebagai alat perjuangan agar
tidak terjerat oleh hukum karena dianggap kesurupan (gila)
C. Seni Bantengan dalam Konteks Mistik
Budaya nenek moyang kita dalam setiap kegiatan spiritual dan ritual
biasanya menggunakan wangi-wangian. Contohnya pada saat “keleman” di
sawah diberi sesaji yang diperuntukkan untuk Dewi Sri berupa cikal bakal
yang di dalamnya ada unsur wewangian (bunga) memberikan sandingan,
dipersembahkan pada waktu punya hajat, sesajen Malam Jumat unsur
wewangian tidak aka terlepas. Tradisi semacam itu di dalam agama
merupakan bagian dari ibadah, maka dicari unsur wewangian yang seakan
identik dengan mistik. Langkah ini dilakukan untuk mengecoh Belanda
seakan-akan pemain Bantengan berbuat musyrik. Dengan menggunakan sarana
kemenyan (lokal, Arab) dupa, candu atau minyak wangi. Agar murah meriah
biasanya memakai kemenyan lokal ditambah minyak wangi, baunya semerbak
menyengat. Dengan unsur kepura-puraan pula seakan mendatangkan roh halus
sehingga pemain seni Bantengan kesurupan, padahal ia bisa memainkan
seni Bantengan bukan karena kesurupan. Karena didukung bau wewangian
sehingga mampu menunggaling kawula lan Gusti akhirnya keberhasilan yang
diharapkan dalam memainkan seni peran dapat dikabulkan oleh Tuhan.
D. Seni Bantengan dalam Konteks Entertainment
Pola dan gerak dalam seni Bantengan perlu diolah sedemikian rupa
sehingga pengunjung betul-betul terhibur. Bagi pemain Bantengan
kesurupan (meskipun dalam kepura-puraan) adalah inti dari pola
permainan. Kalau belum bisa memainkan dengan kesurupan, maka permainan
Bantengan belum dianggap sempurna. Bagi penonton Bantengan adalah seni
yang menarik tetapi manakala benar-benar kesurupan tentu hal ini amat
menakutkan. Agar kedua pola ini dapat saling menguntungkan, maka
sebaiknya dalam memerankan Bantengan ini dilakukan dengan managemen
organisasi modern dan managemen kalbu. Dengan demikian seakan-akan para
pemain itu betul-betul kesurupan tetapi masih dalam kendali rohani
sehingga tidak sampai membahayakan.
Salam Budaya...
Sumber: Facebook
0 komentar:
Posting Komentar