Mengenang suatu siang, jauh di belakang sana, pada hari-hari awal masa Kampanye Pemilu 1992 di sekitar alun-alun bunderan Malang. Iring-iringan simpatisan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan seragam serba hijau berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk gambar bintang. Ada nada marah di wajah mereka, juga dendam. Pemilu 1992 memang masih sekedar sandiwara, tak perduli dukungan sebesar apapun sudah jelas Golkar menang mutlak. Dan pawai kampanye jadi salah satu ajang pelampiasan kekesalan, seperti terlihat dari iringan massa PPP. Di pinggir, orang-orang menyambut riang, seraya mengangkat tangan tinggi-tinggi. Hanya sekian menit kemudian mendadak wajah mereka berubah pucat, tatkala dari arah berlawanan muncul pula arak-arakan Golkar, berwarna kuning dan lambang pohon beringin; musuh bebuyutan!
"Wah, ruwet iki pasti tawuran," celutuk mereka yang di pinggir jalan sambil beranjak menjauh dari kemungkinan bentrokan. Semakin mendekat arak-arakan, aroma amuk pun terasa menyebar. Kedua gerombolan pasang kuda-kuda. Besi, pentungan, batu, rantai, sudah ditangan. Hujatan, cacian dan provokasi mulai keluar. "Golkar keat (tai), diancuk!" PPP bedes (Monyet)! Kerek (Anjing)!"
Seperti diduga, batu-batu melayang. Bagaimanapun dalam situasi chaostik itu, masih ada yang berupaya tetap dingin --turun dari truk dan melerai massa masing-masing. "Hop, hop! (berhenti,berhenti!) Diancuk, keat kabeh! (Diancuk, semua tai !) Iki podo Ngalam, podo Arema, kok tarung! (Sesama warga Kota Malang, sesama Arema, kok berkelahi!)
Ayo salaman..!!!" Suasana amok mencair drastis. 'Arema' rupanya bertuah, punya magis, seperti imam yang harus dipatuhi. 'Arema' menyebar senyum, menggali kekerabatan dan kedua rombongan melanjutkan perjalanan, seolah tidak ada lagi tarung kepentingan politik. Arema ?***
Arema; Arek Malang atau anak Malang. Sedangkan Ngalam kebalikan Malang, kota yang tak begitu kecil dan tak begitu besar, penghasil apel hijau yang asem-asem manis, dan dulu pernah bercuaca amat sejuk. Malang, hanya sekitar satu jam perjalanan dari Ibukota Propinsi Jawa Timur, Surabaya, namun menempatkan jurang yang cukup jauh dalam karakter komunitas, paling tidak komunitas anak muda.
Semula Arema digunakan sebagai identitas anak-anak muda asal Malang pada tahun 70-an dan awal 80-an, khususnya bagi yang merantau Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Istilah itu juga akrab di kalangan geng-geng anak muda Malang, yang saat itu sedang menggejala. Belakangan, kata Arema dipakai resmi jadi nama klub sepakbola profesional Malang yang didirikan pertengahan tahun 80-an. Pendirinya mantan Gubernur Irian Jaya, Acub Zainal. Arema makin menjulang, dan menjadi kebanggaan anak-anak muda di kota, yang dijuluki sebagai kota kaum pensiunan itu, setelah Arema memenangkan Piala Galatama 1987. Bayangkan betapa besarnya makna Arema yang terangkat oleh sebuah klub sepakbola pendatang baru dari sebuah kota ukuran menengah, Malang, yang menjungkirkan nama-nama besar macam Niac Mitra Surbaya maupun Pelita Jakarta.
Kebesaran Arema terus terpelihara sampai sekarang. Jangan heran, hampir di semua sudut kota Malang, termasuk di gang-gang sempitnya, diriuhi coret-coret logo klub Arema ; singa mengaum dengan dasar biru tua. ''Kegilaan mereka terhadap klub sepakbola kesayangannya, mirip kegilaan fans sepakbola manca negara,'' ungkap wartawan Kompas, Putu Fajar Arcana, yang bukan asli Malang, waktu melukiskan ekpresi penggila bola kota Malang. Dia menulis, "Jangan diragukan lagi sepakbola bagi masyarakat Malang ibaratnya rokok bagi lelaki. Olahraga 'rakyat' ini menjadi keseharian yang serius. Bahkan dianggap sebagai ekspresi 'kejantanan'. Bisa jadi penilaian wartawan tadi agak berlebihan, tapi ada benarnya jika menengok Arema menggelar pertandingan di Stadion Gajayana, Malang. Stadion yang berkapasitas 17.000 orang itu dipadati sampai lebih 25.000 orang. Belum lagi, aktivitas pendukung resminya yang mencapai 25.000, dengan 'perwakilan' yang dapat dijumpai di Jakarta, Denpasar atau Batam.
Salah satu contoh konkrit tatkala PS Arema, yang kala itu dikelola Lucky Zainal, berhasil melaju ke 8 (delapan) besar Liga Indonesia di Stadion Senayan Tahun 2000. Ketimbang penggila peserta delapan besar yang lain, kehadiran suporter Arema paling semarak penampilannya, sehingga hampir semua media terbitan Jakarta saat itu mengangkat khusus gejala itu. Sebuah tabloid mingguan olahraga malah menampilkan foto ekspresi para Aremania dalam dua halaman penuh. Lebih dari itu, seorang penggila bola yang melihat lewat layar kaca kecele mengira ekpresi Aremania di stadion senayan itu adalah penggila bola asal Inggris. "Tak hanya rancangan kostum yang menarik," tulis Harian Kompas," tetapi juga lagu-lagu ciptaan mereka sendiri untuk mengangkat moral timnya."***
Lantas apa hubungan antara kejadian di sebuah siang Kampanye Pemilu 1992 dengan Aremania? Ekspresi 'kegilaan' penggemar sepakbola di Malang jelas bisa terjadi di kota mana saja, terutama di kota-kota di mana sepakbola dinisbatkan seolah sebagai iman, sebagai agama, macam di Brazil atau Inggris. Fenomena seperti itu barangkali juga terlihat di komunitas bola di Makasar, Surabaya, atau Medan. Namun, tatkala kegilaan itu -- melalui identifikasi Aremania sepakbola -- menjadi sebuah semacam 'kanalisasi' konflik atau apalah -yang jelas bisa meredakan konflik-- tentu membuka banyak penafsiran.
Ada banyak contoh dari pengaruh langsung identifikasi lewat Arema dalam meminimalkan bentrokan atau gesekan antar kelompok masyarakat di Malang. Peredaman seperti kejadian Kampanye Pemilu 1992, antara Golkar yang super kuat dengan PPP yang merasa tertipu, acap terulang. Lantas saat kecamuk kerusuhan 1998 yang melanda sejumlah kota-kota lain, ternyata Malang, yang sudah dipadati pertokoan dengan 48 kampus dan 100.000 mahasiswa, luput dari aksi penjarahan dan demonstrasi anarkis. "Dengan memakai pendekatan ala Arema," ujar petinggi kota itu, saat ditanya resep pengamanan. Rupanya, saat itu ribuan preman dikumpulkan melalui perkumpulan suporter Arema, dan ditugaskan mengamankan kota. Berhasil. "Fenomena Aremania berkembang ke arah kepentingan ekonomi, sosial dan politik, dan bahkan keamanan," komentar sejumlah pengamat sosial atas kejadian itu.
Tentu proses identifikasi Aremania tidak begitu saja terjadi tanpa proses yang panjang. Makin mengentalnya identifikasi itu tak luput dari penggunaan bahasa walikan (balikan) di antara komunitas anak-anak muda Malang. Tidak diketahui secara secara persis kapan kebiasaan bahasa walikan itu dimulai. Ada yang bilang kebiasaan berbahasa seperti itu dimulai oleh anggota geng-geng Malang pada awal 70-an. Yang jelas melalui bahasa prokemnya anak-anak Malang, kata pengamat sosial budaya Universitas Negeri Malang (UM) Dr. Djoko Sardjono, bahasa walikan makin mengentalkan proses identifikasi Aremania. Bahkan, mengutip Dr. Djoko Sardjono, "Aremania sudah menjadi semacam subkultur, di mana terdapat persamaan emosi yang guyub di antara komunitas."
Saya sendiri pernah 'diselamatkan' oleh bahasa walikan khas Malang. Waktu itu di Stasiun Senen, Jakarta, saya ingin pulang kampung ke Malang tapi kehabisan tiket dan berdiri bingung di salah satu pintu masuk gerbong. Tiba-tiba muncul seseorang, berpenampilan menyeramkan, dan memang menodong saya minta duit. Tahu kalau dialeknya khas Malang, saya langsung menyergap dengan bahasa walikan. "Ayas kadit ojir, jes!" (Aku tidak punya uang, mas!). Sekonyong-konyong dia pasang muka manis. Urusan selesai. Bagi anak-anak Malang, sudah jadi pegangan agar menggunakan bahasa walikan di kawasan Blok M supaya bebas dari tekanan para preman asal Malang yang memang banyak berlalu-lalang di sana.
Terhadap fenomena identifikasi aremania itu, muncul bermacam analisa. Sebagian pengamat --dengan sedikit genit dan bagi beberapa orang mungkin terasa berlebihan-- mengkaitkan hal itu secara kultural dengan fenomena proletar yang disimbolkan dalam diri Ken Arok, Raja Singosari pertama dari jaman abad ke 12 silam. Bekas kerajaan Singosari ini terletak di kecamatan Singosari, sekitar lima belas menit dari Pusat Kota Malang. Kata mereka, latar belakang Ken Arok adalah raja jelata, dan berhasil memfusikan berbagai kekuatan para preman, sekaligus para pendeta untuk melawan kerajaan Kediri. "Sepenggal sejarah itu, paling tidak menjelma dalam spirit Aremania. Paling tidak terlihat, saat Aremania menjadi benteng kota yang efektif untuk melawan perusuh saat reformasi bergulir," kata pengamat budaya Dwi Tjahyono (Kompas, 15 Desember 2000).
Analisa yang mungkin tergolong standard, dari para sosiolog -yang buat saya tamatan Ilmu Administrasi Negara Univeristas Brawijaya terasa masuk akal juga-- adalah bahwa fenomena Aremania disokong oleh suatu kesadaran bersama (kolektif) atas dasar persamaan emosi tentang betapa pentingnya melakukan identifikasi. Dan itu ditemukan anak-anak Malang melalui sebuah permainan sebelas orang dalam menendang dan merebut sebuah benda bundar. Olahraga khas orang-orang bawah itu kemudian dibungkus dalam sebuah kata yang sebelumnya sudah hidup di Malang secara sosial; Arema, dan kemudian dijahit lebih kuat lagi dengan bahasa walikan. Kaum muda Malang pun identik dengan sepakbola, Arema, dan bahasa walikan. Itulah dia Aremania.***
rebmus : arema@yahoogroup.com esei Aremania Itu Apa by Heyder Affan