Sepenggal cerita pagi yang coba aku tuangkang di blog sederhanaku ini (djerugangsiji). Sebelum aku kembali ke "Jakarta", sebelum robot-robot bernyawa tersenyum menyapaku "Selamat datang kawan, dibelantara batu" dimana udara penuh dengan serbuk tembaga dan topeng pelindung harus dikenakan.
Tidak di sini, dikampung halamanku. Pagi itu aku bagun agak kesiangan, tapi beruntung tidak didahului Matahari, berarti aku masih ada waktu untuk menunaikan sholat subuh. Istriku yang lebih dulu bangun kemudian membangunkan aku untuk sholat, segera saja aku bangun dan ambil air wudlu dan sholat subuh yang sudah kesiangan. Selesai sholat, anakku masih terlihat terlelap tidur, istriku juga masih sesekali sedekap karena kedingingan. Wah teringat Syairnya Virgiawan Listanto DKK.
Kubuka Jendela, sapa angin pagi. Ringan ku melangkah, songsong hidup ini.
Suara riuh lembu, halau burung-burung. Bocah tawa ria, bercanda di kali yang jernih.
Ya, pagi telah datang, matahari datang, jelata lewati hari, bersetubuh dengan waktu (masih mengutip syairnya Iwan Fals) Sejuk memang udara pagi itu. Dengan sarung masih aku kenakan, aku coba keluar rumah dan pergi ke mulut gang untuk sekedar ambil gambar. Sudah bayak orang berlalu lalang menyongsong hidup. Dari yang pergi ke sawah, kepasar dsb. Tak jauh dari pasar juga, aku coba menghapiri emak-emak yang sedang berjualan dalam kelompok kecil di luar pasar, menunggu orang lewat untuk menjual apa yang bisa dijual pada dua orang nenek-nenek tersebut, bertransaksi, begitu ceria dan mengesankan, tapi mengharukan. Tak begitu besar transaksi yang ada, jangan dikira dan berpikir adanya transaksi ratusan ribu... Sempat aku meneteskan air mata, ketika aku menyaksikan orang2 disini saat melakukan transaksi. Betapa tidak, orang menjual apa yang bisa dijual, sekedar cukup untuk dibuat beli lauk pauk atau belanja sayuran untuk makan hari itu. Dari rumahnya yang lumayan jauh dari pasar, dibawanya seekor ayam kampung untuk dijual. Saya coba Tanya, “Pinten ayam niku wau mak ?” (Berapa harga ayam itu tadi mak?) “Telung puluh dik…” (Tiga puluh (ribu) dik ..)… hmmmm….murah yo mak…?? “iyo Le…. (Emak itu memanggilku dengan Kata Le../ Tole.... (Nak, dalam bahasa jawa) masih pantas aku dipanggi Le... karena yang memanggilku juga nenek2...
Suara riuh lembu, halau burung-burung. Bocah tawa ria, bercanda di kali yang jernih.
Ya, pagi telah datang, matahari datang, jelata lewati hari, bersetubuh dengan waktu (masih mengutip syairnya Iwan Fals) Sejuk memang udara pagi itu. Dengan sarung masih aku kenakan, aku coba keluar rumah dan pergi ke mulut gang untuk sekedar ambil gambar. Sudah bayak orang berlalu lalang menyongsong hidup. Dari yang pergi ke sawah, kepasar dsb. Tak jauh dari pasar juga, aku coba menghapiri emak-emak yang sedang berjualan dalam kelompok kecil di luar pasar, menunggu orang lewat untuk menjual apa yang bisa dijual pada dua orang nenek-nenek tersebut, bertransaksi, begitu ceria dan mengesankan, tapi mengharukan. Tak begitu besar transaksi yang ada, jangan dikira dan berpikir adanya transaksi ratusan ribu... Sempat aku meneteskan air mata, ketika aku menyaksikan orang2 disini saat melakukan transaksi. Betapa tidak, orang menjual apa yang bisa dijual, sekedar cukup untuk dibuat beli lauk pauk atau belanja sayuran untuk makan hari itu. Dari rumahnya yang lumayan jauh dari pasar, dibawanya seekor ayam kampung untuk dijual. Saya coba Tanya, “Pinten ayam niku wau mak ?” (Berapa harga ayam itu tadi mak?) “Telung puluh dik…” (Tiga puluh (ribu) dik ..)… hmmmm….murah yo mak…?? “iyo Le…. (Emak itu memanggilku dengan Kata Le../ Tole.... (Nak, dalam bahasa jawa) masih pantas aku dipanggi Le... karena yang memanggilku juga nenek2...
Tak lama kemudian, seorang Emak, mungkin sudah punya cucu, membawa sebuah telor ayam, dijualnya juga 1 buah telor ayam itu (tapi aku tak sempat memotretnya) karena begitu cepat transaksi telor tadi… Begitu datang, telor dikasih langsung dibayar, yang jual telor dah terima uangnya langsung saja pergi menuju pasar yang tak jauh dari situ. Aku coba Tanya lagi… “Pinten tigan niku wau mak….?” (Berapa harga telor itu tadi mak..?) Wolungatus Le… (Rp.800,-) Ya Allah… orang tadi itu jual 1 buah telor lalu pergi ke pasar, dapat apa dengan uang segitu ya....? Ya Allah….?!## (disitu aku terharu dan meneteskan air mata) Kalau aku pikir, jajan anakku aja tidak cukup Rp. 10-15 rb sehari. Sementara emak itu hanya jual 1 telor ayam untuk belanja ke pasar (tapi aku juga tidak tahu, apakah itu sekedar tambahan atau apa, tapi yang jelas itulah yang aku saksikan) masih beruntung orang yang jual seekor ayam tadi, dengan mengantongi uang Rp.30.000,- mungkin masih ada sisa dari belanjanya pagi itu….. Ya Allah, betapa besarnya dosaku jika melihat semua itu aku tidak mensyukuri nikmatMu yang telah Kau karuniakan padaku… Sementara masih banyak orang-orang kecil dan sengsara di sekitarku.....
Nah sampai akhirnya kita di sawah Mbahnya anakku. Melawati jalan yang licin, karena aliran air yang merembes ke jalan... Ini lah... Nak... ini sawahnya Mbah Haji... ini tanaman "Telo" nak... Di atas itu ada Pohon Nangka, Apukat, Cengkeh, bahkan Salak juga ada...
Embun pagi masih tersenyum dan masih bersih, daun-daun masih senang menerimanya hingga embun itu tak kunjung jatuh... Air Sungai masih mengalir jernih dan segarnya... hmmm begitu menyenangkan...
0 komentar:
Posting Komentar