Sejarah mencatat, dalam sistem moneter Internasional pernah dikenal tiga macam sistem nilai tukar mata uang (kurs valas). Tiga sistem tersebut adalah Fixed Exchange Rate System, Floating Exchange Rate System dan Pegged Exchange Rate System.
Era fixed exchange rate system ditandai dengan berlakunya Bretton Woods System sejak 1 Maret 1947. Sistem ini menuntut agar nilai suatu mata uang dikaitkan atau convertible terhadap emas atau gold exchange standard. Pada waktu itu, mata uang dolar AS menjadi acuan (numeraire), di mana semua mata uang yang terikat dengan sistem ini dikaitkan dengan USD. Untuk mencipta uang senilai $35, Federal Reserve Bank (Bank Sentral Amerika) harus mem-backup dengan emas senilai 1 ounce atau 28,3496 gram. Dengan demikian, nilai mata uang secara tidak langsung dikaitkan dengan emas melalui USD.
Namun ternyata, The Fed tergiur mencipta dollar melebihi kapasitas emas yang dimiliki. Akibatnya, terjadi krisis kepercayaan masyarakat dunia terhadap dolar AS. Hal tersebut ditandai dengan peristiwa penukaran dollar secara besar-besaran oleh negara-negara Eropa. Adalah Perancis, pada masa pemerintahan Charles de Gaule, negara yang pertama kali menentang hegemoni dollar dengan menukaran sejumlah 150 juta dollar AS dengan emas. Tindakan Perancis ini kemudian diikuti oleh Spanyol yang menarik sejumlah 60 juta dollar AS dengan emas. Praktis, cadangan emas di Fort Knox berkurang secara drastis. Ujungnya, secara sepihak, Amerika membatalkan Bretton Woods System melalui Dekrit Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971, yang isinya antara lain, USD tidak lagi dijamin dengan emas. ‘Istimewanya’, dollar tetap menjadi mata uang internasional untuk cadangan devisa negara-negara di dunia. Pada titik ini, berlakulah sistem baru yang disebut dengan floating exchange rate.
Floating exchange rate atau sistem kurs mengambang adalah sistem yang ditetapkan melaui mekanisme kekuatan permintaan dan penawaran di bursa valas dan sama sekali tidak dijamin logam mulia. Pemerintah melalui Bank Sentral bebas menerbitkan sejumlah berapapun uang. Hal inilah yang menyebabkan nilai mata uang cenderung terdepresiasi, baik terhadap mata uang kuat (hard currency) maupun terhadap harga barang. Kondisi ini kemudian diperparah oleh aksi spekulan yang mengakibatkan nilai mata uang berfluktuasi secara bebas. Meski bisa dikendalikan melalui intervensi—yang dikenal dengan managed floating, otoritas pemerintah suatu negara cenderung menghindari hal ini karena membutuhkan sumber daya yang sangat besar yang berupa cadangan devisa. Berakhirnya fixed exchange rate dan bermulanya floating exchange rate, konon ditengarai sebagai awal dari berbagai rangkaian kesulitan moneter yang dikenal dengan “krisis moneter internasional” (Hamdy Hady, 2001).
Sistem yang ketiga, pegged exchange rate ditetapkan dengan jalan mengaitkan mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain atau sejumlah mata uang tertentu yang biasanya merupakan mata uang kuat (hard currency). Sistem ini pernah dijalankan antara lain oleh negara-negara Afrika serta Eropa. Secara hakikat, sistem ini tak jauh beda dengan floating exchange rate system. Hal ini dikarenakan mekanisme hard currency sebagai mata uang yang dipagu (pegged) masih ditentukan melalui kekuatan supply dan demand pada bursa valas dalam hal mata uang yang dijadikan sebagai acuan.
Sistem Moneter Islam
Pertanyaannya, dari ketiga sistem moneter di atas, manakah yang sesuai dengan konsep ekonomi Islam? Beberapa argumen muncul. Yang paling dianggap benar, namun sering dianggap radikal bahkan oleh pengusung ekonomi Islam sendiri adalah kembali menggunakan mata uang fisik dinar dan dirham (full bodied money). Yang moderat mengusulkan supaya mata uang sekarang agar di-backup dengan emas sebagaimana Bretton Woods. Sedangkan yang paling lunak adalah sebagaimana seperti adanya sekarang, hanya bagaimana pemerintah mengatur supaya tidak ada lagi unsur maghrib (masyir ‘spekulasi’, gharar ‘penipuan’ dan riba) dalam sistem moneter yang berlaku. Dari ketiga usulan itu, penulis dengan tegas menolak yang disebutkan terakhir berdasarkan kenyataan bahwa sistem moneter yang ada sekarang memungkinkan pihak yang mengejar keuntungan pribadi melakukan aksi maghrib tersebut. Terbukti, betapapun pemerintah menghimbau para spekulan, aksi spekulasi di bursa valas masih tetap gencar.
Adapun alternatif yang pertama, saat ini akan (masih) sulit diwujudkan. Kesulitan ini terutama karena dinar dan dirham—meski sebenarnya merupakan mata uang dari luar Islam yaitu Romawi dan Persia—telah dicitrakan sebagai mata uang Islam. Menurut penulis, seandainya negara-negara Islam mengusulkan kepada dunia untuk menggunakan dinar dirham, akan banyak penolakan terutama Barat yang phobia terhadap Islam.
Dengan begitu, peluang terbesar ada pada usulan moderat, yaitu agar mata uang-mata uang sekarang kembali di-backup dengan emas—tentu dengan beberapa penyempurnaan dari system sebelumnya (Bretton Woods). System inilah yang oleh kalangan barat ingin kembali digulirkan yang dikenal dengan istilah Bretton Woods II. Usulan ini bahkan didukung oleh nama-nama besar seperti Joseph E. stiglitz (Ekonom Peraih Nobel dari Amerika), Gordon Brown (PM Inggris) hingga Nicholas Sarkozy (Presiden Perancis).
Keunggulan Gold Exchange Standard
Ada beberapa alasan mengapa mesti kembali pada gold exchange standard daripada sistem nilai tukar yang lain. Pertama, jumlah uang yang beredar di masyarakat bisa terkendali dengan baik dan tidak merajalela sebagaimana sekarang. Kondisi ini pada gilirannya akan mempertahankan kestabilan nilai tukar mata uang yang merupakan kondisi yang kondusif bagi perekonomian.
Kedua, dengan menggunakan gold exchange standard, perekonomian suatu Negara secara otomatis bisa melakukan mekanisme penyesuaian (adjustment) posisi BOP (Balance of Payment), yakni kembalinya posisi neraca pembayaran pada kondisi equilibrium bahkan surplus. Mekanisme ini sebagaimana dijelaskan oleh David Hume yang dikenal dengan “price specie flow mechanism” sebagai berikut. Ketika suatu negara mengalami defisit BOP, persediaan emas turun karena lari ke luar negeri. Larinya emas ke luar negeri berakibat turunnya money supply domestik yang disertai dengan turunnya harga-harga barang. Akibatnya, harga barang dalam negeri menjadi kompetitif yang pada gilirannya akan kembali meningkatkan ekspor pada kondisi semula atau bahkan lebih besar.
Ketiga, keuntungan mengunakan gold exchange standard adalah bahwa emas secara instrinsik menjaga nilainya dari fluktuasi bebas sebagaimana mata uang kertas. Untuk melakukan transaksi perdagagan, gold standard tidak memerlukan hedging yang pada hakikatnya merupakan barrier bagi perdagangan.
Beberapa Catatan
Di depan telah disinggung bahwa perlu adanya upaya penyempurnaan dari system Bretton Woods jika nantinya Bretton Woods II ingin kembali diwujudkan. Pertama, mata uang yang dipakai sebagai standar (numeraire) bukanlah mata uang negara atau kelompok negara tertentu karena cenderung terjadi hegemoni dari negara yang mata uangnya dijadikan sebagai standard tersebut sebagaimana kasus USD. Mata uang numeraire adalah mata uang independen yang diakui secara internasional.
Kedua, harus ada kontrol ketat bahwa untuk menciptakan mata uang standar tersebut harus tersedia emas yang memadai yang disimpan pada otoritas keuangan internasional. Selain itu, otoritas moneter internasional tersebut harus merupakan representasi seluruh negara di dunia, bukan corong kelompok kekuatan tertentu.
Referensi
Eramuslim Digest, Islamic Thematic Handbook, edisi koleksi 8.
Dr. Hamdy Hady, Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Keuangan Internasional. Penerbit: Galia Utama (2001).
Luthfi Hamidi, Gold Dinar. Penerbit: Senayan Publishing Jakarta (2006).
*Mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI (STEI SEBI) Jakarta
Sumber : Pesantren Virtual.com